... pah, motornya banyak sekali ya? mungkin nanti bumi akan penuh dengan motor ya pah? ...
Sayup terdengar sebuah pertanyaan yang muncul dari bibir seorang anak berusia kurang lebih 4 tahunan kepada seorang ayahnya di sebuah perempatan jalan. Pertanyaan yang begitu lugu dan lugas dari seorang anak yang entah bangga, kagum, aneh, atau bingung karena banyaknya populasi kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) di kota tempatnya berada.
Di tengah himpitan ekonomi, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tidak menentu beberapa lama ini -bahkan sudah nyaris 10 tahun-, sepeda motor memang menjadi salah satu alternatif pemecahan dari permasalahan ekonomi yang dihadapi. Harga-harga yang melambung termasuk harga minyak, yang berdampak pada merangkak naiknya ongkos transportasi dan bahan makanan pokok yang ada.
Kembali ke populasi sepeda motor yang pertumbuhannya begitu dahsyat dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir ini -ah, sayangnya aku tak punya data kuantitatif yang relevan di lapangan- memang cukup memberikan kontribusi terhadap penggunaan jalan raya, baik itu positif maupun negatif. Pada posisi positif, peningkatan populasi ini memberikan sebuah jalur alternatif angkutan (ojeg), bahkan pada beberapa lokasi dikenal dengan istilah ojeg trayek bebas. Di sisi yang lain, populasi sepeda motor membuat jalan semakin semrawut, khususnya bagi mereka yang tidak mematuhi aturan, menggunakan lajur sekehendak hati, dan sedikit ugal-ugalan. Padahal penulis sendiri adalah seorang pengguna setia sepeda motor, tapi rasanya khawatir melihat orang lain mengendarai secara sembrono, yang dapat membahayakan -selain dirinya sendiri- juga pengguna jalan lainnya.
Jika dilihat lebih jauh, jumlah motor yang begitu banyak tidak lepas dari kemudahan untuk mendapatkan kendaraan tipe ini. Betapa banyak kemudahan dari pada perusahaan leasing motor dalam memberikan pinjaman/kredit sepeda motor. Sebagai data pembanding, di Jakarta, pertambahan sepeda motor mencapai kurang lebih 1.300 unit setiap hari, cukup mengkhawatirkan memang (Bang Yos, dari acara Om Farhan). Bagaimana dengan Bandung, jika diambil setengahnya saja dari jumlah pertumbuhan di Jakarta, tak ayal Bandung akan jadi kota motor. Lihat saja di setiap perempatan atau parkiran, betapa banyak sepeda motor yang ada, kalau teman saya, Petri -semoga kesuksesan dan kebahagiaan menyertainya- bilang 'liat tuh lalat-lalat (motor) pada baris', bahkan pada perempatan tertentu, begitu lampu lalu lintas berganti hijau, motor-motor meraung dan bergerak cepat seperti start saat balapan saja.
Jika populasi ini tidak dikendalikan, mungkin pertanyaan si bocah itu akan menjadi kenyataan. Tapi, bagaimana cara untuk mengendalikannya, apakah dengan pembatasan produksi, peningkatan pajak kendaraan bermotor, atau ...